Media untuk merekam musik
terus berkembang dari masa ke masa. Perkembangannya mulai dari piringan hitam, kaset, cakram padat
(CD), sampai mp3.
Di Indonesia
sendiri media perekam tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, beberapa dari media perekam tersebut
mulai tidak digunakan lagi secara umum, kecuali untuk mereka yang mencintai dan
mengoleksinya.
Piringan Hitam
Piringan hitam mulai ada
sejak tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan hitam dalam hitungan rpm (rotation
per minute) yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan hitam 78 dan 45 untuk plat
berdiameter 25 cm, sedangkan 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm. 78, 45, 33
1/3 rpm maksudnya adalah, setiap satu menit piringan hitam itu berputar
sebanyak angka yang menjadi ukurannya (78, 45, 33 1/3). Semakin besar diameter
platnya, semakin kecil ukuran untuk memutarnya.
Belakangan kecepatan 78
mulai tidak digunakan lagi pada produksi piringan hitam ini sejak sekitar tahun
60an dan hanya kecepatan 45 dan 33 1/3 saja yang masih digunakan untuk
memutarnya. Plat berukuran 30 cm dengan kecepatan 33 1/3 yang biasa disebut
Long Play (disingkat LP), plat ukuran sedang 25 cm juga dengan kecepatan 33 1/3
masih termasuk Long Play tapi biasanya berisi 4 buah lagu di tiap sisinya, plat
ukuran 18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 juga, berisi 1 buah lagu di tiap
sisinya disebut Single Player dan yang berisi 2 buah lagu di tiap sisinya
disebut Extended Player.
Ada beberapa alat untuk
memutar piringan hitam, salah satunya adalah phonograph. Cara kerja
piringan hitam sama saja disemua alat pemutarnya, yaitu dengan menggunakan stylus,
yang berbentuk seperti jarum yang berada di pinggiran piringan hitam. Stylus
itu berfungsi untuk mencatat simpangan gelombang
suara
yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras
suara.
Dari segi fisik, piringan
hitam besar dan agak berat, Beratnya kira-kira 90-200 gram. Intinya tidak
praktis untuk membawa piringan hitam kemana-mana. Akan tetapi kelebihannya
adalah piringan hitam tidak mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi
selama platnya tidak baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah.
Oleh karena itulah piringan hitam banyak disukai orang-orang. Para musisi pada
tahun 1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan
hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan
hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu,
masing-masing satu lagu di side A dan side B. Hal itu dikarenakan
pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang mahal, lagipula seorang
penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya mempunyai satu atau dua lagu
yang terkenal, maka dari itu mereka lebih memilih membuat single. Jadi
kalaupun mereka membuat album, album hanya bisa direkam di piringan hitam
berukuran 33 1/3, biasanya sisa lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia sendiri,
piringan hitam mulai digunakan sebagai alat perekam sekitar tahun 1957.
Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta
di Surakarta
dan Irama di Menteng.
Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa,
dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman tersebut
dalam format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia, piringan hitam
termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya, jadi tidak semua orang di
Indonesia memilikinya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan piringan hitam
kurang terkenal di Indonesia.
Untuk di dunia sendiri,
piringan hitam mulai turun pamornya sejak adanya CD pada awal tahun 1980an. CD
berhasil menggusur pasar piringan hitam karena fisiknya yang lebih kecil
sehingga dapat dengan mudah dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.
Namun, pada masa sekarang
ini, piringan hitam masih dan sedang banyak dicari. Karena orang-orang yang
ingin memiliki rekaman musisi idolanya, ingin mempunyai rekaman mereka dari
zaman piringan hitam. Lagipula rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama,
seperti contohnya The Beatles, lebih banyak di piringan hitam.
Selain itu nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam sekarang ini
adalah kepuasan batin, gengsi, dan esensinya dalam mengoleksi barang.
Kaset
Audio kaset, sudah ada sejak
tahun 1963. Akan tetapi kaset tidak bisa menggusur kedudukan piringan hitam
saat itu. Sekitar tahun 1970an barulah kaset mulai banyak dilirik oleh
orang-orang dan juga industri rekaman.
Kaset mempunyai bentuk yang
sederhana, dengan dua bolongan sebagai alat pemutar pita magnetiknya. Pita
magnetik adalah media untuk merekam suara di dalam kaset. Kapasitas merekam
yang dapat dilakukan sebuah kaset berbeda-beda, yang paling sedikit
kapasitasnya hanya bisa merekam selam tujuh menit di setiap sidenya,
jadi bila dijumlahkan durasi satu kaset adalah 14 menit, sedangkan yang paling
panjang kapasitasnya adalah yang bisa merekam sampai 60 menit di setiap
sidenya, jadi durasi keseluruhannya adalah 120 menit atau dua jam.
Alat untuk memutar kaset
dapat kita temukan dimana-mana, dari yang besar sampai yang kecil, bahkan ada
pula yang portable, jadi kita bisa membawanya kemana-mana dengan mudah.
Kelebihan lainnya adalah kaset dapat digunakan untuk merekam secara manual,
maksudnya adalah kita bisa merekam rekaman suara lain dan dimasukkan ke dalam
kaset kosong yang kita punya. Oleh karena itulah pada tahun 1970an, hampir
semua musisi pasti mempunyai rekaman single atau albumnya dalam bentuk
kaset. Karena selain dapat merekam lebih banyak, apabila kita menggunakan kaset
dengan kapasitas 120 menit, biaya untuk memproduksi rekaman dengan menggunakan
kaset pun lebih murah. Sampai saat ini pun kaset masih menjadi alternatif media
perekam yang dipilih oleh musisi. Namun beberapa tahun belakangan ini mulai ada
perusahaan rekaman yang tidak mau lagi memproduksi kaset.
Salah satu faktor utama yang
menyebabkan kaset kurang terkenal di awal kemunculannya, adalah kaset, yang
menggunakan pita magnetik sebagai alat untuk merekam suara, kadang-kadang tidak
merekam dengan sempurna. Jadi sangat mungkin terjadi, rekaman di dalam kaset
suaranya mendem atau kalau memang suaranya bagus, kemungkinan kaset itu
untuk menjadi mendem pun besar. Hal itu dikarenakan pita magnetik yang
terdapat dalam kaset terbilang sensitif, kita tidak boleh membiarkan kaset itu
kotor, apalagi sampai pita magnetiknya yang kotor, dan kita juga harus memutar
pitanya sampai ke batas pita yang biasanya berwarna putih yang tidak ada rekamannya.
Selain itu kita juga harus berhati-hati jangan sampai pita magnetiknya kusut
saat menggulung. Artinya kita harus merawat kaset lebih ekstra. Ditambah lagi
pita magnetik untuk merekam sekarang ini lebih tipis dibandingkan dengan zaman
dulu (sekitar tahun 1970an), jadi kemungkinan kaset untuk rusak lebih besar.
Namun kaset zaman dulu pun tidak jaminan tidak mudah rusak.
Cakram Padat (CD) dan MP3
Primadona alat perekam musik
sampai saat ini adalah CD. Hadir di awal tahun 1980an dan berhasil menggeser
kedudukan pendahulunya, piringan hitam dan kaset. Keunggulan CD adalah
bentuknya yang sangat simpel dan ringkas, kualitas suaranya yang jernih,
kemampuan merekamnya yang hebat, dapat merekam hingga lebih dari 700 mega
byte, selain itu perawatannya juga mudah. Prinsip dasar perawatannya sama
seperti piringan hitam, selama tidak baret-baret CD itu akan baik-baik saja.
Terdapat banyak alat untuk
dapat memutar sebuah CD. CD dapat diputar apabila sensor yang berbentuk seperti
mata yang terdapat di alat pemutar CD dapat membaca CD tersebut. Untuk itulah
mengapa penting agar CD tetap dijaga keadaanya dan tidak baret-baret, karena
kalau ada baretan akan ada masalah dalam membaca CD tersebut.
Apabila seorang grup musik,
ambil contoh lagi The Beatles ingin merekam albumnya ke dalam sebuah CD,
biasanya perusahaan rekaman akan membuat dua versi rekamannya. Rekaman
internasionalnya yang akan menjadi CD impor yang kualitasnya pasti lebih baik
dan harganya juga lebih mahal. Sedangkan versi keduanya adalah CD lokal yang dibuat
lagi oleh perusahaan rekaman yang sama seperti yang mengeluarkan rekaman CD
impor, tetapi perusahaan rekaman tersebut ada di negara dimana CD lokal itu
akan dipasarkan. Kekurangan CD lokal meskipun harganya jauh lebih murah dari CD
impor adalah kualitasnya yang kurang bagus, selain itu prestigenya pun
kurang apabila kita membeli CD lokal.
Kelebihan lainnya, lagu-lagu
yang terdapat dalam CD dapat dipindahkan ke komputer
dengan cara di rip yang nantinya dapat dengan mudah kita pindahkan lagi
ke alat-alat pemutar musik portable seperti iPod. Ada lagi yang dapat
dengan mudah langsung dipindahkan ke komputer tanpa perlu me-rip-nya,
yaitu MP3. MP3 pada umumnya berprinsip sama seperti CD, namun kemampuan MP3
dalam merekam musik lebih banyak, jadi kita bisa memasukkan banyak lagu kedalam
satu MP3. Seharusnya harga MP3 asli sama mahalnya seperti CD impor, namun
karena kecanggihan teknologi, sekarang ini dapat dengan mudah dibuat CD dan MP3
bajakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar